Responsive Advertisement

Thursday, August 22, 2024

Sejak Kapan Aku Benci Hujan?

Sejak kapan aku benci hujan?



Dibawah teduh halte bus, hujan mengguyur deras. Tangisan akasa di pagi itu telah menutupi senyuman mentari yang kini t'lah menghilang entah kemana.


Di kursi tunggu, aku mengetuk jari-jemariku berirama gelisah, menunggu tangisan langit berhenti membasahi bumi. Perasaan yang tak menentu menyelimuti, layaknya awan kelabu yang menutupi matahari. 


Pikirku hujan selalu membuat ku kesal, Hujan selalu menjadi halangan bagiku saat aku ingin berpergian keluar. Lusa kemarin saja, acara hangout bersama teman-teman batal karena hujan. Bulan lalu,  liburan keluarga diundur menjadi tujuh hari setelahnya dikarenakan hujan selalu turun pada minggu itu. 


Langit kelabu masih mencengkram cakrawala. Mataku terpaku pada jam tangan, menyaksikan jarum jam yang terus bergeser pada angka yang berbeda. Detik-detik berlalu, aku menghitung setiap kali jarum jam itu berdetak. Jantungku ikut berdetak menyaingi jarum jam. Hujan tak bersimpati pada kegelisahan ku yang ingin segera reda. 


Hari ini, hujan merampas waktu ku lagi, menghalangi langkahku menuju pertemuan penting. Sesekali aku menatap pada tiap tetes air yang jatuh. Suara denting nya mengingat kan ku pada suatu hal. Kala itu aku mencintai hujan,  selalu menanti tiap tetesnya dengan penuh harap. Mendung, bagai tirai langit yang siap menyapa, denting nya begitu syahdu menenangkan jiwa, begitu tenang rasanya. Hadirnya hujan selalu membawa ketenangan pada diriku, seperti ada perasaan lain yang sulit untuk dijelaskan. Lagi pula semasa kecil aku punya banyak cerita tentangnya. 


Kepalaku mendongak, menatap awan yang kian memudar. Suasana ini membawa ingatanku pada kenangan masa lalu. Aku tenggelam dalam memori-memori indah.

Tentang hujan mengingatkan ku padanya. 


Ya, dia..

Dia yang hadir disaat hatiku dirundung kesepian. Melukiskan pelangi diatas kanvas hati, dialah sang pelukis yang mewarnai hidupku. Tentang hujan ada kenangan yang tersimpan. Orang bilang hujan itu romantis, dinginnya dapat menyatukan jarak dan memberi ruang dekat tuk membawa kehangatan. 


Latar hujan telah menyimpan banyak kenangan dan cerita di dalam kisah aku dan dia. Mataku terpana pada sosoknya dikala hujan menerpa. Rintik hujan menghantam aspal jalanan. Ritme yang semula lembut perlahan berubah garang dibalut angin ribut. Alam menuntun kita masuk kedalam sebuah kedai kopi untuk berteduh. Sampai suatu ketika dia menumpang duduk di meja yang telah ku tempati sebelumnya. Jantungku berdegup kencang, heran tak percaya. Melihat sekeliling kursi yang telah dipenuhi pelanggan. Sungguh aku akan mempersilahkannya meski dia tak meminta izin. Mataku berbinar menatapnya, bersyukur kepada tuhan telah mengizinkan ku untuk berhadapan dengan orang yang selama ini hanya ada dalam bayang-bayang imajinasi. 


Obrolan mengalir di antara kami, tentang hari yang muram sebab tetes air yang turun pagi itu. Aku bahagia hujan dapat turun kala itu, meski ada pekerjaan yang terpaksa tertunda. Bayarannya lebih dari sekedar waktu kosong, namun juga sebuah pertemuan yang takkan pernah terlupakan. Obrolan mulai mengarah lebih dalam tentang diri kita masing-masing. Entah mengapa kami berdua tidak merasa canggung. Topik pembicaraan mengalir begitu saja. Mungkin kami adalah orang yang cocok dipasangkan bersama. Aku dan dia mulai berbagi cerita tentang hobi, jurusan kuliah atau pekerjaan, tempat tinggal,makanan favorit, hingga hal-hal kecil yang membuat kami tertawa. 


Ternyata dia seorang mahasiswa hukum, tahun ini adalah semester terakhirnya. Sebagai senior yang sudah lulus lebih dulu meraih gelar S Fil. ,aku mencoba membantunya, memberi semangat dan sesekali menampilkan sisi filsuf ku, berbicara mengenai teori yang mungkin asing baginya. Meski dalam hati, aku tahu ini hanya caraku untuk dapat lebih dekat dengannya. Ini trik yang kupelajari dari buku "Tips jitu membuat seseorang jatuh cinta". Ironis memang, tapi begitulah diriku. Selalu bisa berbicara mengenai asal muasal dunia kerap membuatku buntu mencari topik saat berhadapan dengan orang yang ku suka. 


Topik obrolanku dengannya benar-benar template percakapan dari buku yang kubaca. Kata yang keluar dari mulutku begitu kaku, entah bagaimana kesan pertama yang dia rasakan saat berbicara dengan ku kala itu. Aku tak hirau, yang terpenting hari itu menjadi catatan sejarah dalam kalender hidupku. 


Waktu memakan pertemuan kita begitu cepat, kesal ku. Hujan mulai reda. Mengapa disaat hatiku sedang berbunga waktu seakan berlari? Sedang saat semasa sekolah, di jam pelajaran matematika waktu seketika tertidur, terasa begitu lambat. Ingin rasanya ku perpanjangan hari itu, membiarkan kita berbincang tanpa henti.


Awan telah berhenti mengirim tetes air nya ke bumi. Kita memiliki kesibukan masing-masing. Hujan reda pertanda untuk melanjutkan aktifitas kembali. Sebelum mengucap selamat tinggal kami saling bertukar kontak. Memulai bab awal kisahku dengannya. Setelahnya, percakapan kami berlanjut di dunia maya, saling mengirim pesan lewat ketikan di ponsel. Terkadang menelpon adalah kebiasaan kami di malam-malam yang sunyi, menceritakan hari-hari kami yang melelahkan. 


Sering kali kami kembali menuju kedai kopi itu. Sekarang bukan lagi menjadi tempat berteduh dikala hujan. Kedai kopi “Pemuda Imajiner” menjadi tempat favorit kami berjumpa. Tempat yang dulu kuhabiskan sendiri untuk memikirkan tentang dunia dan manusia, kini berubah menjadi tempat dua sejoli berbagi tawa, dan keluh kesah. Entah hanya untuk sekedar menghabiskan waktu luang atau curhat perihal dosen galak di kelas dan aku mengadu sebab atasan yang selalu meminta deadline cepat. 


Dari setiap pertemuan yang kami jalani, aku merasa dia mulai menanam benih cinta dihatinya. Pupil matanya kini membesar saat aku sedang bercerita. Jarak antara kami menjadi begitu dekat. Seiring berjalannya waktu, kami saling terikat dalam janji. Kami semakin sering menghabiskan waktu bersama, tak lupa dengan hujan. Ya, hujan selalu hadir sebagai latar kisah cinta kami. Selalu berjalan dibawah payung yang sama, ditemani ucapan romantis dan canda tawa yang begitu indah.


Setahun berlalu, aku dan dia masih tak lepas dari bayang-bayang hujan. Seperti hujan, badai menerpa hubungan kami, mengobrak-abrik segala cinta yang kami tanam. Berkali-kali badai itu reda, namun bencana tidak pasti kapan akan datang. Bak batu karang yang akan terus terkikis bila ombak terus menerjang setiap harinya. Berkali-kali pisau mengiris tali hubungan kami, tak peduli seberapa sering tali itu diikat kembali, pisau tak henti mengiris hingga ikatan hubungan kita lemah pada akhirnya putus dan tak mungkin untuk menyambungnya. Lambat laun hubungan yang telah kami bangun runtuh seketika oleh satu kata “pisah”. Keputusannya ingin mengakhiri hubungan ini telah menancapkan duri tajam dihati. Sia-siakah perjuanganku selama ini? Hatiku terluka, seolah terdengar melodi biola yang menyayat dada.


Hujan mengguyur deras jalanan kota yang sunyi, menjadi saksi perdebatan ku sebelum harus berpisah. “Sedang hancur” “Ingin fokus karir” ungkapanya menjadi alasan berpisah. Aku tak memaksa untuk kita terus bersama, namun hatiku tak pernah bisa memahami alasannya. Ingin menetap di luar kota katanya, tidak ingin hubungan dipisah oleh jarak. Makanya memutuskan berpisah, dengan itu telah membawa pergi segala mimpi yang pernah kami rajut bersama.


Sebenarnya hubungan kami telah lama menjadi dingin sejak beberapa waktu lalu. Dingin seperti kala hujan turun di keheningan malam. Aku telah berusaha untuk menghangatkan hubungan kita seperti sedia kala. Merekatkan ikatan yang telah merenggang. Seringkali, manusia berjuang keras untuk menggapai apa yang diinginkan, namun takdir dengan bijak mengarahkan pada apa yang sebenarnya terbaik. Meski menurutku tampak buruk, aku percaya bahwa takdir menyimpan hikmah dibalik setiap peristiwa. 


Hujan masih terus membasahi kota, peka, menggambarkan perasaanku yang dibasahi oleh duka. Payung yang biasa menaungi dua anak manusia, kini menjadi saksi bisu dari kesendirian yang menyakitkan. Tangisku bercampur rintik hujan, membasahi pipi yang kini dingin. Dengan berat, dia pergi meninggalkanku yang kini hanya dapat menatap punggungnya. Setiap langkah perginya terasa menghantam dada, Menambah luka yang kian dalam.


Dua jiwa yang dulu saling mencintai, kini hanya tersisa kenangan yang terpatri dalam hujan. Dia membuka lembaran baru dalam hidupnya, sementara aku masih terjebak di kisah lama antara kita. Keputusan pisah adalah catatan takdir yang sudah tertulis. Mengikhlaskan adalah cara terbaik untuk melupakan. Namun hujan tidak mungkin akan pernah lupa. Hujan selalu hadir dalam setiap pertemuan kami. Dalam kehidupan, hujan turun sesuai musim yang berlaku. Sejuta kenangan hadir dalam tiap tetes air nya. Tentang hujan mengingatkan ku pada sebuah awal pertemuan dua insan, kemudian menjadi kisah romansa bak Romeo dan Juliet lalu pada akhirnya berakhir meninggalkan kenangan dan pisau yang masih tertancap di hati.


Membenci hujan bukan berarti benci penciptanya. Aku hanya benci pada memori yang tidak pernah terhapus. Aku bukan benci, hanya sekedar butuh waktu. Sebenarnya bukan benci dalam arti menghina ciptaannya. Benci hanyalah kiasan, anggap saja aku tidak menyukai hujan. Aku suka hujan, seperti yang pernah kuceritakan, tapi anehnya memori yang tercipta dalam hujan membuat perspektif ku berubah. Dari sini aku belajar, bahwa sesuatu yang semula baik dapat berubah buruk ketika mendapat traumatis dalam pengalamannya. Makna dan realitas tentang sesuatu dinilai subjektif oleh pengalaman dan interpretasi kita, prespektif kita terhadap sesuatu bisa berubah kapan saja.


Hujan merupakan anugerah, ia yang memandikan pepohonan, mengisi kekeringan dan membawa kesejukan. Ciptaan Tuhan pasti memiliki manfaat nya, sebetulnya tidak baik jika aku membenci ciptaan yang seindah itu. Untuk apa pula memaki agar dapat berhenti, karena hujan ialah hak prerogatif Tuhan. Menunggu reda adalah hikmah yang bisa diambil, lagipula kenapa tidak menikmati keindahan nya sambil belajar sabar menunggu reda. 


————

"Pengalaman mengukir pandangan, dan kenangan memahat makna; apa yang kita rasakan hari ini adalah bayangan dari apa yang pernah kita alami."


"Dunia kita tidak dibentuk oleh apa yang kita lihat, tapi oleh cara kita mengingatnya."


"Kenangan bukan hanya sekedar catatan masa lalu, tetapi juga kacamata yang mengubah cara kita melihat dunia; apa yang pernah kita cintai, bisa menjadi bayangan yang samar oleh luka yang tertinggal."


No comments:

Post a Comment

Full Width CSS

Carousel Display

SoraBook

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vestibulum rhoncus vehicula tortor, vel cursus elit. Donec nec nisl felis. Pellentesque ultrices sem sit amet eros interdum, id elementum nisi ermentum.Vestibulum rhoncus vehicula tortor, vel cursus elit. Donec nec nisl felis. Pellentesque ultrices sem sit amet eros interdum, id elementum nisi fermentum.




Comments

Contact Form

Name

Email *

Message *